15 Sept 2010

Idul Fitri dan Ayah

Tahun ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya karena ayah datang ke Jakarta untuk berlebaran. Sebenarnya saya heran bagaimana cara ibu membujuk ayah untuk pergi meninggalkan ‘Sumatera Barat’. Sejauh ingatan saya, selama hampir 24 tahun umur saya ayah tidak pernah seharipun berlibur. Hari sabtu dan minggu ayah tetap bekerja, jadinya hanya saya, ibu dan adik-adik yang berlibur.

Selama ini ayah hanya akan pergi kalau ada seminar atau mengikuti konferensi di luar. Jadi bisa dibayangkan saya tidak pernah ke pantai atau taman hiburan dengan ayah. Kalau berlebaran di Bukittinggi pun saya hanya akan berada dirumah, bukan berlibur dengan beliau. Saya harus membantu didapur mencuci piring atau menyiapkan makan dan minum karena dalam kebiasaan orang Minang setiap tamu harus makan walaupun sedikit ketika berlebaran, dan tamu yang datang kerumah baru akan berkurang di hari ketiga.

Intinya, mungkin ayah bisa dibujuk untuk berlebaran di Jakarta karena semua anak-anaknya sudah tidak dirumah, saya dan adik perempuan ada di Jakarta dan adik laki-laki ada di Bandung.

Hal yang ingin saya bagi tentang ayah adalah keajaiban terjadi selama berlebaran di Jakarta. Ayah yang selama ini tidak pernah belanja ke warung atau minimart dan sekarang tidak jaim untuk belanja beras, garam, susu, dan isi ulang galon. Dalam hati saya berkata ‘wow, magic!’. Selama ini ayah hanya bisa beli koran, hehe.

Saya tau alasan ayah bersikap berbeda. Sebenarnya ayah bukan orang yang gengsian. Ayah tidak pernah jajan ke warung, tidak merokok atau minim kopi, ayah akan makan apa yang dimasak oleh ibu. Tidak pernah minta macam-macam. Bisa dibilang ayah saya ‘limited edition’.

Ketika kecil saya mengisi waktu dengan ayah dengan menonton berita, berdebat tentang perang Bosnia ketika saya masih SD dan hingga kini masih membahas tentang Palestina. Kami berbagi koran dan mendengar cerita-cerita tentang pengalaman ayah di berbagai tempat. Bagaimana ayah mengisi waktu liburnya sebagai asisten pembuat roti, mencuci kapal, mengecat kapal, serta pengalamannya menjadi ketua mahasiswa. Ayah bercerita perihnya hidup disaat yang lain juga indahnya tempat-tempat yang dia kunjungi, orang-orang yang dia temui dan persahabatannya yang masih hangat sampai sekarang dengan teman-temannya. Gara-gara ayahlah peta dunia selalu ada dikamar saya sejak saya SD, bahkan disetiap kamar adik saya pun ada. Karena ayahlah saya membeli puluhan buku catatan perjalanan.

Kali ini memang saya akan membanggakan ayah saya. Bukan dalam hal materi karena keluarga kami biasa-biasa saja. Disini saya ingin menuliskan hal-hal yang tidak bisa saya ungkapkan pasa beliau. How I love my daddy very much. Sayalah seorang anak yang mengangis melihat punggung ayahnya menjauh. Seringnya saya tau dia lelah karena banyak hal yang ada dipikirannya. Saya tau. Namun saya tidak bisa berbuat apa-apa.

Percaya atau tidak, bisa dibilang saya jarang dinasehati oleh ayah. Ketika saya juara dikelas saya akan diberi reward oleh beliau. Nah, ketika saya sedang bandel-bandelnya dan mundur jadi ranking 10 ayah juga tidak marah. Beliau hanya bertanya kenapa.

Ayah adalah inspirasi ketika dia memilih jalan yang berbeda dari teman-temannya, mengabdikan hidupnya atas apa yang ia yakini. Saya benar-benar senang ketika akhirnya ayah bisa berlibur setelah berumur 60 tahun dan saya bangga menjadi anak dari Bapak Nawazir Muchtar.

No comments: